Tahapan Belajar Agama yang Keliru

Tahapan Belajar Agama yang Keliru

Salah dalam memilih anak tangga dapat berakibat fatal.

Judul diatas merupakan hasil perenungan dan pembuktian secara kasatmata di lapangan yang terjadi di dalam mempelajari agama ini. Keliru disini bukan keliru dalam memilih agama akan tetapi keliru di dalam menapaki tangga-tangga yang seharusnya memang dilewati dalam memahami agama yang sempurna ini. Ada sedikit kesedihan dalam hati ketika anomali-anomali itu justru tampak terlihat jelas pada orang-orang yang mengaku dirinya berada diatas kebenaran. Tulisan singkat ini mencoba untuk mengungkapkan hal-hal yang mungkin mempengaruhi kondisi tersebut. Semoga menjadi sebuah pengalaman yang sangat berharga. Minimal berharap orang lain yang baru saja mengenal agama ini tidak ikut-ikutan terjurumus.

Mungkin dalam benak bertanya-tanya anomali apa itu ?. Saya akan coba paparkan beberapa contoh saja ya. Pertama, pernahkah kita melihat fenomena di lapangan orang-orang yang mengaku mengaji akan tetapi akhlak dan perilakunya sama sekali jauh dari apa yang pernah kita dengar dalam hadits-hadits tentang adab dan akhlak. Sikap kasar, keras dan tidak senyum menjadi salah satu ciri khas mereka. Pernahkah kita melihat fenomena di lapangan orang-orang yang mengaku mengaji akan tetapi eksklusif tingkat dewa ?. Hanya mau bergaul dengan orang-orang yang mungkin satu pengajian atau minimal memiliki pemahaman yang sama ?. Contoh-contoh tadi merupakan anomali yang terjadi di lapangan. Belum lagi anomali-anomali lainnya yang tidak perlu saya sebutkan lagi karena hanya akan mencoreng atau merusak orang-orang yang memang secara tulus ikhlas berusaha membangun akan tetapi akibat ulah oknum menjadikan
orang-orang tersebut ikut menjadi korban. Hanya karena secara fisik mungkin sama tidak berarti keseluruhan itu sama.

Kenapa baru sekarang ?. Sebenarnya sudah cukup lama ingin menuangkan uneg-uneg yang bergelayut di alam pikiran dan hal ini sudah cukup lama berjalan akan tetapi untuk mengungkapkannya dalam sebuah tulisan baru sempat sekarang. Pada tulisan kali ini saya akan coba paparkan beberapa poin hasil kesimpulan saya dalam bentuk poin-poin yang singkat.

1. Niat yang keliru
Poin niat saya jadikan yang pertama dikarenakan ini adalah awal dari segala sesuatu sebagaimana disebutkan dalam hadits

عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعَمَلُ بِالنِّيَّةِ وَإِنَّمَا لِامْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

Dari Umar bin Al Khaththab radliallahu ‘anhu ia berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya setiap amal itu tergantung pada niatnya. Dan bagi seseorang adalah apa yang ia niatkan. Barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa yang hijrahnya lantaran dunia yang hendak ia kejar atau wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya itu adalah sekedar kepada apa yang ia inginkan.”

Ketika belajar kita niatkan untuk apa ?. Menjadi ustadz ?, kyai ?. Saya tidak mengatakan salah menjadi ustadz atau kyai akan tetapi seringnya kita terjebak ke dalam sebuah pemahaman bahwa belajar agama itu untuk menjadi ustadz atau harus menjadi ustadz. Tidak demikian kiranya. Saya termasuk orang yang memiliki pemahaman bahwa belajar agama dengan mendalam tidak menjadikan kita harus meninggalkan pelajaran-pelajaran lainnya. Tidak harus meninggalkan profesi anda. Beberapa fenomena yang terjadi adalah niat belajar karena mencari komunitas, kira-kira boleh tidak ?. Saya berpendapat sah-sah saja akan tetapi perlu diingat sebagaimana disebutkan dalam hadits tentang amal bahwa niatnya nanti tidak akan berpahala. Dapat komunitas akan tetapi tidak memperoleh pemahaman.

2. Tidak membangun keilmuan dari dasar
Poin kedua ini adalah yang sering saya jumpai. Seringnya kebanyakan mereka tergelincir dalam memilih bahasan yang layak atau sesuai dengan tingkatan yang harusnya mereka pelajari terlebih dahulu. Suatu ketika saya melihat sebuah pembahasan Nukhbatul Fikr karya Al Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqolany, Masya Alloh sebuah karya ulama yang berkaitan dengan ilmu hadits. Namun apakah layak jika materi tersebut diberikan langsung kepada mereka yang sama sekali belum pernah belajar bahasa Arab ?. Terlebih lagi jika diberikan langsung kepada mereka yang baru mengenal agama ini. Syaikh Utsaimin yang merupakan seorang ulama abad ini pernah menyampaikan bahwa hendaknya para penuntut ilmu yang masih baru belajar untuk mengambil kitab-kitab atau buku-buku yang lebih ringkas terlebih dahulu dan kemudian bertingkat naik keatasnya secara bertahap dan diselesaikan pula secara bertahap dan tidak lompat-lompat.

Tidak heran di Masjid Nabawi dan di Masjidil Haram ada ulama-ulama yang menyampaikan ilmu muridnya hanya satu atau segelintir orang. Bukan karena orang lain tidak boleh mengambil ilmunya atau berusaha menutup-nutupi akan tetapi semua ilmu ada tahapan awal yang menjadi dasar untuk sampai kepada ilmu selanjutnya dan tidak sembarangan. Disinilah pentingnya guru yang bisa mengarahkan dan disinilah pentingnya adanya tingkatan atau marhalah dalam belajar sebagaimana tingkatan dalam SD, SMP, SMA dan selanjutnya.

3. Prioritas yang kurang tepat
Poin ini sebenarnya masih menyambung pada poin nomor dua. Prioritas yang kurang tepat dalam mengambil ilmu terlebih lagi kebiasaan sepotong-sepotong membuat pemahaman agama ini menjadi tidak utuh. Hal ini menyebabkan kerancuan dalam menghadapi sebuah peristiwa pun kurang tepat akibat pemahaman yang tidak utuh. Kita akan melihat mereka yang tidak memahami agama ini dengan utuh dan tidak ada yang mengarahkan cenderung “lucu” dan “aneh”. Disini saya tidak bermaksud menertawakan atau melecehkan. Saya contohkan pada kasus pertama ketika adanya pemilihan wakil rakyat, ada sekelompok orang yang menyatakan tidak memilih dengan mengatakan itu haram dan semisalnya. Akan tetapi sekelompok orang ini tiba-tiba secara massal ikut dalam ajang pemilihan presiden. Ada yang bisa menjelaskan kaidah apa yang digunakan ?. Kasus kedua adalah ada sekelompok orang yang tidak ikut dalam pemilihan presiden dengan alasan yang sama haram dan semisalnya akan tetapi mereka dengan sangat gagah ikut dalam pemilihan RT dan RW bahkan menjadi terdepan dalam menyuarakan. Ada yang bisa menjelaskan kaidah apa yang digunakan ketika kita boleh memilih satu tapi tidak boleh memilih yang lainnya ?. Silahkan tuliskan pada kolom komentar artikel di bawah ini jika memang ada.

4. Idealisme Ketokohan
Berat rasanya jika saya mengatakan fanatik buta tapi itulah yang terjadi. Hal tersebut menjadi sesuatu yang wajar karena silau terhadap apa yang menjadi pegangan orang yang kita tokohkan. Terlebih lagi apabila mereka yang mengikuti tidak memiliki dasar keilmuan atau sekedar ikut-ikutan. Jadilah semua yang dikatakan oleh tokoh tersebut menjadi “benar” sekalipun dalam hal tertentu ada kekeliruan. Kekeliruan-kekeliruan itu akan diperburuk dan menjadi hal yang sulit untuk ditangani ketika pegangan yang digunakan adalah “POKOKE” atau “POKOKMEN” apalagi mereka yang mempelajari agama ini dari ustadz google. Comot fatwa A comot fatwa B terus di copas jadilah “perang”. Mereka yang tidak faham kaidah fiqh terlebih lagi tidak faham bahasa Arab ketika membahas permasalahan fiqh atau permasalahan dakwah semuanya diseret-seret kedalam permasalahan dengan berlindung sebuah kata “manhaj” atau “aqidah” atau “fatwa”. Inkonsistensi ini dapat dilihat ketika membicarakan masalah tertentu dibawalah fatwa A akan tetapi ketika permasalahan lain dibawalah fatwa B tanpa menjelaskan kaidah fatwa.

5. Seperti katak dalam tempurung
Poin lima ini sebenarnya masih menyambung di poin empat. Sebuah kondisi yang memprihatinkan pernah terjadi. Tokoh yang dimaksud melarang pengikutnya untuk duduk bermajelis dimana-mana dan hanya boleh berada di majelis yang dia miliki. Dan larangan ini menjadi larangan keras duduk bermajelis bersama dengan orang yang berseberangan dengan tokoh tadi. Pengikut yang ketahuan bermajelis bersama dengan tokoh yang bersebarangan akan dicap macam-macam dan ditinggalkan. Jadilah semua kehidupan dan lingkungan tempat dia tinggal menjadi seperti katak dalam tempurung tidak bisa kemana-mana. Kemana-mana salah seolah-olah ada tembok yang menghalangi.

6. Ketakutan yang berlebihan
Ketakutan-ketakutan yang berlebihan terjadi ketika ini tidak boleh dan itu tidak boleh. Hal ini bukan karena ada larangan secara syariat tapi larangan dari sang tokoh. Ketakutan yang berlebihan ini sampai pada taraf yang berbahaya membuat pengikutnya tidak berani membaca buku-buku apapun. Seringan-ringannya pelarangan adalah minimal hanya boleh baca-baca majalah yang sejalan dengan pemahaman tokoh atau komunitasnya karena sebuah “ancaman” terjerumus. Bahkan ada sebuah kasus yang sangat lucu. Pengikutnya yang juga terlanjur taklid sampai-sampai tidak mau membeli barang orang yang biasa menjadi langganannya hanya karena orang tersebut termasuk daftar orang-orang yang “berbahaya” :). Silahkan koreksi dengan tuliskan di komentar jika memang ada kaidah harus demikian.

7. Merasa Paling
Ketika prioritas dalam belajar telah keliru dan apa yang dipelajari adalah sesuatu yang menjatuhkan lawan maka posisi diri menjadi seolah-olah merasa paling. Paling benar dan paling YES :). Hal ini terlihat jelas di social media terutama. Berbekal ustadz google setiap orang yang dirasa berbeda dengannya akan disikat dan didebat sampai terpojok. Kalau yang ini saya pernah diajak debat tapi ya seperti itu tadi. Antara jawaban dengan arah pembicaraan sangat jauh sekali dari apa yang didiskusikan. Mereka yang masih “waras” dan membaca dengan “cerdas” tentu memahami dengan baik.

8. Antipati dan antisosial
Pada beberapa kelompok dan komunitas hal ini sudah mulai jauh berkurang. Walaupun di beberapa tempat masih ditemukan. Saya tidak perlu memberikan penjelasan lebih jauh. Antipati dan antisosial menjadi ciri khas komunitas ini pada waktu itu. Bahkan lingkungan di sekitar mereka sama sekali tidak tersentuh dengan kebaikan dari apa yang sedang dan telah mereka pelajari. Sungguh sebuah kesia-siaan.

9. Tidak punya target dan tujuan
Poin ini bisa menjadi perbedaan pendapat karena masing-masing orang memang berhak memilih untuk tidak punya target dan tujuan dalam belajar dan itu sah-sah saja. Mereka yang sudah mulai sadar biasanya akibat jenuh dan merasa diri mereka tidak bisa berkembang. Fenomena ini sudah tampak terlihat. Tidak jarang akhirnya mereka yang tidak kuat akan menjadi futur dan kembali terjerembab dalam lubang kemaksiatan. Mereka yang sudah setengah futur atau boleh dikatakan bosan biasanya akan sibuk memikirkan dunia dan menjadikan agama ini menjadi sampingan saja. Atau beberapa banyak diantara mereka yang merasa sudah “tinggi” ilmunya biasanya malas untuk ikut kajian-kajian lagi karena merasa sudah pernah dan sudah tamat beberapa kali dan sekali lagi nantinya cenderung kepada dunianya kembali. Padahal mereka-mereka yang ilmunya tinggi sudah pantas dan sangat pantas untuk terjun di lapangan dakwah karena umat ini butuh dakwah. Umat ini butuh nasehat.

10. Watak
Ada beberapa orang yang mengatakan memang sudak wataknya. Mau ngaji atau tidak ngaji watak mereka sama. Kalau yang seperti ini saya tidak bisa memberikan komentar apa-apa. Sependek pengetahuan saya, kita tetap bisa mengubah watak walaupun itu harus dilakukan secara bertahap dan butuh proses yang lama. Sayangnya mereka yang memiliki watak kurang bersahabat beberapa sudah berilmu tinggi dan orang-orang yang berilmu tinggi tidak semuanya mau dibina atau minimal mereka meminta yang membina mereka adalah orang-orang yang diatas mereka.

Sebenarnya masih ada satu lagi akan tetapi biarlah saya simpan. Tulisan diatas merupakan poin-poin saya yang merupakan hasil perenungan dan beberapa poin memang pernah saya alami secara pribadi. Semoga proses-proses yang ada bisa kita lalui dengan baik dan hendaknya kita tidak sampai jatuh untuk kedua kalinya. Lalu bagaimana supaya kita bisa keluar dari hal-hal tersebut ?. Kuncinya adalah keberanian ya sebuah keberanian. Keberanian dalam hal apa ?. Keberanian dalam mengubah pola pikir dan cara pandang. Tentunya semua ini juga tidak lepas dari kita untuk selalu berdoa memohon petunjuk terus kepada Alloh Subhanahu wa Ta'ala dan terus belajar dan membaca. Jangan batasi diri kita untuk terus belajar dan mencoba terus mencari kebenaran. Semoga kita menjadi semakin matang di dalam memahami agama ini dengan sebaik-baiknya. Aamiin

  • di tengah-tengah hiruk pikuk lingkungan

Andrey Ferriyan
Laboratorium Pribadi, 19 Safar 1436 - 12 November 2014