Menakar Inkonsistensi

Bagaimana sebuah kaidah itu berpijak ?
Pagi tanggal 21 September 2016 sebuah pesan dari WhatsApp masuk ke dalam HP saya. Pesan itu masuk ke dalam salah satu grup dimana saya ikut tergabung di dalamnya. Sebuah tulisan terkait syariat Islam dan politisasi buah karya seorang tokoh pemerhati perkembangan politik tanah air. Saya katakan tokoh karena beberapa kalangan intelektual maupun orang awam menganggapnya sebagai seorang yang mungkin paham di bidangnya.
Saya pernah menanggapi tulisan beliau terkait perspektif di blog pribadi saya Multiperspektif: Sebuah Lintasan Pemikiran. Dalam tulisan yang mampir di beranda HP saya sudah bisa ditebak ke arah mana. Sebuah keberpihakan pada salah satu calon di negeri seberang yang sedang hangat dan ramai dibicarakan di dunia maya. Apapun pilihannya biarlah itu menjadi hak beliau pribadi. Saya hanya ingin mendiskusikan dan menanggapi tulisannya terkait inkonsistensi.
Beliau menyampaikan kasus-kasus yang terjadi di lapangan akibat adanya inkonsistensi. Dibawalah kasus partai dakwah yang disebutkan pernah menerima kandidat non-muslim sebagai jagonya di salah satu pilkada di salah satu daerah tapi kenapa untuk kasus negeri seberang tidak menerima dengan alasan syariat ?. Kemudian dibawalah kasus-kasus lainnya dari mulai masalah jilbab hingga kehidupan rumah tangga seseorang. Semuanya mengesankan bahwa “mereka menjual ayat-ayat Alloh dengan harga yang murah” atau jikalau boleh saya katakan secara lugas “para ulama menjual ayat-ayat Alloh dengan harga yang murah”. Perhatikan ini tulisan saya, beliau memang tidak menyebutkan demikian tapi semuanya mengesankan seperti ini. Semua yang membahas politik dengan membawa ayat suci dianggap keliru.
Beberapa pertanyaan terbetik dalam hati saya.
Apakah seorang ketika masuk dalam sebuah partai, sebutlah partai bernafaskan Islam tetiba menjadi malaikat atau harus menjadi seorang malaikat ?. Sungguh berat sekali.
Latar belakang beliau digadang-gadang sebagai “expertise in Shari'a” tapi apa beliau lupa bahwa umat Islam diwajibkan untuk memilih pemimpin muslim dengan syarat selama mampu ?. Dari sini saya berprasangka apakah di negeri tersebut tidak ada lagi calon pemimpin muslim yang mampu ?. Hampir-hampir saya berpikiran di negeri itu semua muslimnya santun tapi bejat, korupsi semua dan tidak memiliki pendidikan karakter tidak seperti calon disebelah yang berlisan “kasar” tapi tidak korupsi dan berpendidikan karakter, apakah demikian halnya ?.
Haruskah membawa-bawa kehidupan pribadi seseorang dalam hal menolak satu kandidat untuk memenangkan kandidat lainnya ?. Jika demikian halnya kenapa mencela jirannya tatkala menginginkan kehidupan pribadi dan sosialnya soleh dan berlandaskan syariat ?
Aah… agaknya untuk menakar sebuah konsistensi membutuhkan sebuah timbangan. Jangan dikarenakan kita mengidolakan seseorang entah karena pendapat pribadi atau pesanan menjadikan seseorang harus meruntuhkan timbangan yang ada.
Namun dari itu semua saya sangat setuju dengan apa yang beliau sampaikan bahwa permasalahan politik ini harus dikembalikan pada kiai. Tentu disini yang dimaksud bukan cuma para kiai dan ulama yang ada pada pihak tertentu akan tetapi kiai dan ulama yang rabbani mau bersatu tanpa melihat partai, ormas atau golongan yang bisa memberikan arahan terbaik karena merekalah yang mengetahui kondisi di lapangan.
Masih banyak pertanyaan sebenarnya namun biarlah itu saya simpan pribadi dan kelak akan saya ketahui sendiri jawabannya. Semoga tidak sebagaimana Raymond Reddington menyampaikan “I told you so”.
- bukan aktivis politik cuma praktisi IT
Andrey Ferriyan
Yokohama, 21 September 2016