Kesantunan dalam Berdakwah

Kesantunan dalam Berdakwah

Santunnya kita dalam menyampaikan kebenaran menjadi salah satu potensi seseorang menerima apa yang kita sampaikan.

Saya tertarik dengan salah seorang ustadz sekaligus da'i dan murabbi kibar. Bagaimana kiprah beliau, kesibukan beliau bahkan jabatan beliau yang tidak sembarangan telah menempatkan diri pribadinya menjadi sosok yang sangat penting. Sekalipun demikian dengan kesibukan yang begitu luar biasa, beliau masih tetap menyempatkan diri untuk mengisi kajian-kajian yang boleh dikatakan ruang lingkupnya lebih kecil. Itu hanya merupakan sepenggal kecil kisah dakwah beliau. Untuk nama kiranya tidak perlu disebut karena yang kita ikuti adalah agamanya, akhlak dan perilakunya yang santun. Seiring dengan nama yang besar tampak pula perilaku dan akhlak yang mulia.

Sungguh hal-hal yang demikian yang sempat hilang diantara para penuntut ilmu, ustadz, alim yang mengaku bermanhaj salaf hingga orang-orang pun terheran dan sempat terceletuk, “apakah demikian para ulama salaf mengajarkan ?”. Kesantunan berbalut ilmu syar'i yang mumpuni ketika itu benar-benar tak terlihat, yang ada hanyalah kesantunan tanpa keilmuan ataupun sebaliknya keilmuan tanpa kesantunan. Waktu yang berjalan kemudian menjawab bahwa keilmuan yang mumpuni tanpa kesantunan menjadi sebuah bumerang yang tidak saja merusak pembawanya pun merusak apa yang dibawa.

Di masa ini dakwah yang paling utama agar mad'u (orang yang didakwahi) dapat menerima ialah mengiringinya dengan kesantunan, apapun materinya, siapapun pembicaranya dan siapapun pendengarnya tentu akan lebih pas dan mengena jika berbalut dengan kesantunan. Menyampaikan kebenaran tidak harus dengan menampakkan kata-kata yang kotor dan keji terlebih lagi dengan menjatuhkan kehormatan seseorang. Berapa banyak dialog yang dilaksanakan untuk menangkal kesesatan sebuah pemahaman berakhir dengan kurangnya rasa simpati pendengar sekalipun materi yang disampaikan adalah sebuah kebenaran.

Sebenci apapun kita terhadap pemahaman seseorang, sekali lagi pemahamannya dan bukan orangnya jika membantah dengan diiringi kata-kata kotor dan lisan yang keji akan cenderung menjatuhkan kebenaran yang disampaikannya. Dalam hal membantah hendaknya kita mencoba untuk bercermin kepada salah seorang karya ulama polymath -Syaikhul Islam Ibn Taimiyah- salah satu contoh karya beliau Al-Aqidah Al-Wasithiyah. Buku tersebut bukan merupakan buku bantahan apapun namun melalui perantaraan buku itu berbagai macam syubhat terkait asma wa shifat dapat terjawab tanpa harus menggunakan kata-kata kasar.

Berapa banyak pemahaman-pemahaman menyimpang, artikel-artikel yang keliru serta menjerumuskan menjadi mudah diterima dikarenakan penyampaiannya menarik dan santun. Terkait hal ini jika dimudahkan oleh Alloh saya akan bahas kasus ini pada tulisan saya selanjutnya.

Andrey Ferriyan
Darussalam, 24 Ramadhan 1436 - 11 Juli 2015